News

Bukan Orang Biasa! Ini Profil Yai Mim, Dosen UIN yang Disorot Usai Berselisih dengan Sahara Rental

Perkembangan Terbaru dalam Konflik Yai Mim dan Sahara Rental

Konflik antara Nurul Sahara, pemilik bisnis rental Sahara Rental, dengan Kiai Muhammad Imam Muslimin atau yang dikenal sebagai Yai Mim, terus menjadi perbincangan publik. Perseteruan ini tidak hanya berkaitan dengan bisnis, tetapi juga melibatkan seorang tokoh yang memiliki pengaruh besar di masyarakat. Sejak awal, konflik ini menarik perhatian banyak pihak karena adanya tudingan yang saling bersilang.

Awalnya, Sahara mengunggah beberapa video ke TikTok yang menyatakan bahwa Yai Mim dan beberapa mahasiswa melakukan penggerudukan ke rumahnya. Namun, setelah beberapa waktu berlalu, tudingan tersebut tidak terbukti. Rosida, istri dari Yai Mim, menjelaskan bahwa hari itu suaminya sedang mengadakan pembelajaran bersama mahasiswa di kediamannya. Justru, sang tetangga yang membuat gangguan dengan menggunakan speaker dan melakukan karaoke, sehingga mengganggu proses belajar.

Yai Mim merespons situasi ini dengan cara yang santai. Dalam beberapa video yang beredar, ia justru mengajak mahasiswa untuk berjoget alih-alih menangani masalah secara serius. Meski demikian, Sahara menilai tindakan tersebut sebagai bentuk “penggerudukan”.

Profil Yai Mim yang Menginspirasi

Yai Mim bukanlah sosok asing bagi masyarakat. Ia adalah mantan dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang dan pernah menjadi sorotan publik karena aksinya yang fenomenal, yaitu aksi “guling-guling” saat menghadapi sebuah permasalahan di masa lalu. Lahir di Blitar pada tahun 1966, ia dikenal sebagai akademisi dengan latar belakang keilmuan agama dan literasi yang luas. Selain itu, ia juga seorang hafiz Al-Qur’an.

Dalam kasus sengketa tanah dengan Sahara Rental, Yai Mim tampil sebagai pihak yang bersikukuh mempertahankan niat wakaf untuk jalan umum. Hal ini kemudian menjadi perhatian nasional. Sebagai kiai, Yai Mim memiliki pengaruh besar di kalangan santri maupun masyarakat luas. Kehadirannya dalam berbagai forum keagamaan dan sosial sering memberi warna tersendiri.

Selain sebagai dosen senior, Yai Mim juga dikenal sebagai pendiri pondok-pondok pesantren. Ia bahkan berhasil menyelesaikan hafalan Al-Qur’an di usia dewasa. Namun, pada akhir September 2025, perseteruan tetangga yang berputar di sekitar penggunaan jalan dan parkir mobil berubah menjadi badai media sosial yang menghantam reputasinya hingga ke akar. Akibatnya, ia kehilangan pekerjaan, diusir dari rumah, dan mendapatkan penghakiman publik yang awalnya menghujat lalu berbalik mendukung.

Awal Mula Konflik Yai Mim

Menurut kronologi yang beredar, awal perselisihan bermula dari penggunaan jalan umum yang bersebelahan dengan lahan yang diklaim sebagai wakaf milik Yai Mim. Jalan tersebut mulai dipakai untuk tempat parkir mobil-mobil rental yang dikelola oleh tetangganya, sehingga memunculkan teguran. Hubungan yang sebelumnya hangat tiba-tiba memanas ketika pemilik usaha memarkir kendaraan di area yang dianggap milik wakaf.

Teguran sederhana berubah menjadi adu klaim kepemilikan dan pertengkaran yang akhirnya terekam dalam beberapa video. Potongan-potongan gambar tersebut kemudian menyebar luas. Video yang menampilkan dirinya berguling di tanah saat emosi memuncak tampaknya menjadi titik kritis. Potongan ini menjadi bahan kecaman. Banyak pihak menilai perilaku itu provokatif atau menandakan kondisi abnormal.

Di fase awal viralitas, narasi yang beredar cenderung memihak pihak yang mengunggah, sehingga Yai Mim yang semula dihormati langsung mendapatkan gelombang hujatan. Seiring berjalannya waktu, muncul potongan rekaman tambahan dan dokumentasi yang menunjukkan bahwa masalah penggunaan lahan bukan sekadar soal parkir sembarangan, melainkan soal klaim lahan wakaf.

Ketika fakta ini mengemuka, opini publik mengalami pembalikan. Komentar-komentar yang semula menghujat berubah menjadi permintaan maaf, empati, dan pertanyaan tentang bagaimana masyarakat cepat membentuk opini tanpa verifikasi. Dukungan juga datang dari beberapa figur publik dan musisi, yang memilih mengangkat suara sebagai bentuk solidaritas terhadap pihak yang dirasa dizalimi. Sebaliknya, akun media sosial dan usaha yang semula mendapat dukungan mulai menerima gelombang kritik dan hujatan balik.

Penulis: AdminEditor: Admin