Hukum Kripto dalam Islam, Halal atau Haram?

Publica.id - Cryptocurrency, atau yang sering disebut sebagai mata uang kripto, telah menjadi salah satu inovasi paling revolusioner dalam dunia keuangan modern. Dengan teknologi blockchain sebagai fondasinya, cryptocurrency menawarkan sistem transaksi yang aman, cepat, dan terdesentralisasi. Popularitasnya terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna dan investor di seluruh dunia. Namun, di balik perkembangan pesat ini, muncul berbagai pertanyaan mengenai legalitas dan status hukumnya, terutama dalam perspektif syariah Islam.

Dalam Islam, semua bentuk transaksi keuangan harus mematuhi prinsip-prinsip syariah yang melarang unsur gharar (ketidakpastian), maysir (perjudian), dan riba (bunga). Oleh karena itu, cryptocurrency sering kali menjadi subjek diskusi mendalam di kalangan ulama dan akademisi untuk menentukan apakah teknologi ini sesuai dengan hukum Islam.

Ketentuan Hukum Mata Uang Kripto Menurut MUI

MUI sendiri sudah membuat tiga poin ketentuan hukum penggunaan kripto, adapun poin-poin tersebut adalah sebagai berikut.

1. Hukum Cryptocurrency Sebagai Mata Uang

Menurut MUI, penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang mendapatkan perhatian serius karena beberapa alasan:

  1. Mengandung Gharar (Ketidakpastian): Cryptocurrency memiliki nilai yang fluktuatif dan tidak stabil. Hal ini menimbulkan unsur ketidakpastian dalam transaksi.
  2. Dharar (Potensi Kerugian): Investasi dalam cryptocurrency dapat menyebabkan kerugian besar bagi pihak-pihak yang tidak memahami mekanisme atau terkena dampak volatilitas.
  3. Bertentangan dengan Peraturan Negara: Di Indonesia, penggunaan cryptocurrency sebagai alat pembayaran bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17 Tahun 2015.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, MUI memutuskan bahwa penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang adalah haram.

2. Hukum Cryptocurrency Sebagai Komoditi atau Aset Digital

Dalam konteks cryptocurrency sebagai komoditi atau aset digital, MUI menyatakan bahwa cryptocyrrency tidak sah untuk diperjualbelikan karena tidak memenuhi syarat sil’ah secara syar’i, yaitu: ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik dan bisa diserahkan ke pembeli.

3. Ketentuan untuk Cryptocurrency yang Halal

Cryptocurrency dapat dianggap halal jika memenuhi syarat sebagai sil’ah (barang) dalam Islam dan memiliki manfaat yang jelas. Beberapa ketentuan tambahan adalah:

  1. Memiliki Underlying Asset: Cryptocurrency harus didukung oleh aset nyata atau proyek yang memberikan nilai tambah.
  2. Tidak Mengandung Unsur Riba atau Spekulasi Berlebihan: Transaksi cryptocurrency tidak boleh mengandung unsur riba.
  3. Dapat Memberikan Manfaat Jelas: Cryptocurrency yang digunakan untuk mendukung aktivitas ekonomi atau sosial yang bermanfaat bagi masyarakat memiliki kecenderungan untuk dinilai halal.

Hukum Mata Uang Kripto Menurut Ustadz Adi Hidayat

Dalam sebuah ceramahnya, Ustadz Adi Hidayat tidak secara eksplisit menyatakan bahwa kripto itu halal atau haram. Namun, beliau menekankan pentingnya memahami maslahat (manfaat) dan mudarat (kerugian) dari penggunaan teknologi baru ini dalam kehidupan umat Islam.

Ustadz Adi Hidayat menjelaskan bahwa dalam menilai sesuatu, Islam tidak hanya melihat dari segi hukum hitam dan putih, tetapi juga nilai yang dibawa dalam konteks yang lebih luas. Berikut adalah prinsip-prinsip penting yang beliau sampaikan:

  1. Maslahat dan Nilai-Nilai Islam Kripto dapat diterima dalam Islam jika memberikan maslahat (manfaat) nyata bagi umat dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ini berarti, penggunaannya harus membawa dampak positif yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan kejujuran.
  2. Kepastian Wujud Fisik dan Hukum yang Jelas Salah satu syarat penting yang disampaikan adalah adanya kepastian wujud fisik dari aset kripto tersebut. Maksudnya, harus ada kejelasan mengenai bentuk dan manfaatnya, sehingga tidak menjadi alat spekulasi yang merugikan. Selain itu, kripto harus berada di bawah hukum yang menaungi dan memiliki perlindungan untuk menghindari kerugian bagi penggunanya.
  3. Regulasi dan Pengawasan Ustadz Adi Hidayat juga menekankan pentingnya adanya otoritas atau penjamin dalam penggunaan kripto. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa transaksi yang dilakukan dapat berjalan dengan aman dan terpercaya. Dalam konteks Islam, regulasi dan pengawasan menjadi aspek penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mencegah manipulasi pasar.

Pandangan Ulama dan Otoritas Keagamaan Negara Lain

Pandangan ulama dan otoritas keagamaan mengenai cryptocurrency bervariasi. Beberapa negara Islam seperti Uni Emirat Arab dan Malaysia telah memberikan panduan bahwa cryptocurrency dapat digunakan jika memenuhi syarat syariah tertentu. Bahkan baru-baru ini, Malaysia mengizinkan warganya untuk membayar zakat dengan mata uang kripto.

Kesimpulan

Jika mengacu pada ketentuan hukum yang dibuat oleh MUI, Hukum cryptocurrency dalam Islam tidak bisa digeneralisasi sebagai halal atau haram tanpa melihat jenis dan penggunaannya. Sebagai mata uang, cryptocurrency cenderung dianggap haram karena mengandung unsur gharar, dharar, dan bertentangan dengan hukum negara. Namun, sebagai komoditi atau aset digital, cryptocurrency dapat dianggap halal jika memenuhi syarat-syarat syar’i, seperti memiliki underlying asset dan memberikan manfaat yang jelas.

Bagi umat Islam, penting untuk memahami sifat dan mekanisme cryptocurrency sebelum terlibat dalam transaksi. Konsultasi dengan ahli syariah dan mengikuti panduan hukum Islam yang ada menjadi langkah bijak dalam menentukan kehalalan cryptocurrency.