Kota Munich bersiap menjadi saksi sejarah saat dua kekuatan sepak bola Eropa, Paris Saint-Germain dan Internazionale Milano, saling berhadapan di Final Liga Champions 2025. Di balik kemegahan Allianz Arena, tersimpan narasi besar yang bukan hanya soal kemenangan, tapi tentang pencarian jati diri di panggung tertinggi Eropa.
PSG: Mewujudkan Ambisi yang Telah Lama Ditanam
Paris Saint-Germain kembali ke final setelah lima tahun, membawa beban sejarah dan harapan besar dari era kepemilikan Qatar yang telah menanam investasi masif selama lebih dari satu dekade. Final ini adalah penampilan kedua mereka, dan kemenangan berarti menjadikan mereka klub Prancis kedua yang pernah menjuarai Liga Champions—setelah Marseille pada 1993.
Musim ini bukanlah jalan mulus bagi Les Parisiens. Hampir tersingkir di fase liga dengan hanya empat poin dari lima pertandingan pertama, PSG kemudian bangkit dengan mengalahkan RB Salzburg, Manchester City, dan Stuttgart. Di fase gugur, mereka tampil meyakinkan, termasuk kemenangan agregat 10-0 atas Brest—sebuah rekor baru di babak sistem gugur Liga Champions.
Luis Enrique menata tim ini dengan karakter menyerang. Trio Ousmane Dembélé, Kvaratskhelia, dan Désiré Doué menjadi andalan di lini depan. Di lini tengah, kombinasi João Neves, Vitinha, dan Fabián memberikan kontrol dan kreativitas, sementara Marquinhos siap mencatatkan penampilan ke-107 di Liga Champions, berharap bisa mengakhiri kariernya dengan trofi yang selama ini sulit diraih.
Secara domestik, PSG tak terbendung. Gelar Ligue 1, Coupe de France, dan Trophée des Champions sudah di tangan. Namun, Liga Champions adalah tolok ukur sesungguhnya, dan kini mereka hanya tinggal satu langkah dari puncak.
Inter Milan: Tetap Tangguh di Tengah Perubahan Zaman
Di sisi lain, Inter Milan datang dengan sejarah yang lebih megah, namun juga tekanan besar. Ini adalah final ketujuh mereka, dan menariknya, seperti enam final sebelumnya, mereka kembali menghadapi tim yang mengejar treble. PSG menjadi yang terbaru dalam daftar itu, menyusul Real Madrid (1964), Benfica (1965), Bayern (2010), dan yang lainnya.
Inter musim ini tampil solid. Mereka hanya kebobolan satu gol di fase liga dan mengalahkan Feyenoord serta Bayern Munich di babak gugur. Namun momen paling dramatis datang saat menghadapi Barcelona di semifinal. Setelah dua leg berakhir imbang 3-3, Francesco Acerbi mencetak gol di menit ke-93 untuk memaksa perpanjangan waktu. Davide Frattesi kemudian menjadi pahlawan dengan gol penentu yang mengantar Inter ke final dengan agregat 7-6.
Simone Inzaghi menghadapi tantangan besar. Lautaro Martínez diperkirakan kembali fit dan akan menjadi kunci di lini depan bersama Marcus Thuram. Meskipun kehilangan Pavard dan Zieliński, struktur permainan Inter tetap kuat, berbekal semangat khas “Pazza Inter” yang selalu membuat mereka tak bisa ditebak.
Namun berbeda dengan PSG yang telah mengamankan semua trofi domestik, Inter bisa saja mengakhiri musim tanpa gelar. Mereka tersingkir dari Coppa Italia dan kalah tipis dalam perebutan Scudetto dari Napoli. Final ini menjadi satu-satunya peluang mereka untuk menyelamatkan musim dan menambah bintang keempat di logo klub.
PSG vs Inter: Lebih dari Sekadar Pertandingan
Laga ini bukan hanya pertarungan dua tim, tapi juga benturan dua filosofi: ambisi modern PSG yang penuh kilau dan investasi, melawan warisan tradisional Inter yang dibentuk dari sejarah panjang dan karakter kuat.
PSG datang untuk menebus kegagalan masa lalu, menghapus label “klub instan” yang tak pernah menjuarai Eropa. Inter datang dengan luka final dua tahun lalu yang belum sembuh, berharap bisa bangkit dan mengulang kejayaan 2010.
Munich punya catatan menarik: empat final sebelumnya di kota ini semuanya melahirkan juara baru. Bagi PSG, ini bisa menjadi tanda baik. Tapi bagi Inter, ini tentang mempertahankan supremasi dan menegaskan bahwa sejarah masih punya tempat di era sepak bola modern.
Final Liga Champions selalu menjadi penentu warisan. Saat wasit meniup peluit akhir nanti, hanya satu nama yang akan tertulis sebagai juara Eropa 2025. Entah itu PSG yang akhirnya mengangkat trofi yang paling mereka dambakan, atau Inter yang kembali membuktikan bahwa tradisi lama masih punya tenaga untuk menaklukkan dunia.
Dan malam ini, Munich tak hanya akan menyimpan ingatan tentang pemenang, tapi tentang siapa yang mampu menaklukkan tekanan, membungkam keraguan, dan berdiri paling tinggi di antara bintang-bintang Eropa.