IHSG Menguat Meski Ada Potensi Shutdown Pemerintah AS
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada hari kemarin mengalami penguatan meskipun pasar global sedang memperhatikan potensi penutupan sementara pemerintah Amerika Serikat (AS). Para analis melihat bahwa pasar saat ini belum terlalu merespons secara signifikan terhadap ancaman tersebut.
Pada perdagangan hari kemarin, IHSG naik sebesar 28,57 poin atau 0,35 persen menjadi 8.099,65. Sementara itu, indeks LQ45 yang terdiri dari 45 saham unggulan juga mengalami kenaikan sebesar 2,05 poin atau 0,26 persen menjadi 785,34. Menurut Fanny Suherman, Head of Retail Research BNI Sekuritas, IHSG berpotensi bergerak mendatar dalam kisaran level 8.050 hingga 8.100.
Menurut Tim Riset Lotus Andalan Sekuritas, meskipun ada kemungkinan shutdown, IHSG tetap bisa mengalami tren penguatan. Dalam pengamatan mereka, ketika pemerintah AS mengalami shutdown pada tahun 2018, IHSG justru mengalami kenaikan selama periode 35 hari penutupan pemerintahan AS tersebut.
Dari sisi internasional, Menteri Keuangan AS Scott Bessent memberi peringatan tentang risiko perlambatan ekonomi akibat shutdown. Ia menyatakan bahwa semakin lama proses shutdown berlangsung, semakin besar dampaknya terhadap kinerja ekonomi.
Di sisi lain, nilai tukar Rupiah terus menunjukkan penguatan terhadap USD menjelang akhir pekan. Pada penutupan Jumat kemarin, rupiah menguat sebesar 43 poin menjadi Rp16.555 per USD, setelah sebelumnya sempat melemah 25 poin dari posisi penutupan hari sebelumnya di Rp16.598.
Ibrahim Assuaibi, pengamat pasar uang, memprediksi bahwa rupiah akan bergerak mendekati kisaran Rp16.550 pada pekan depan. Menurutnya, pelaku pasar cenderung mengabaikan kekhawatiran dampak langsung dari shutdown AS. “Untuk perdagangan Senin depan, mata uang rupiah akan fluktuatif namun ditutup menguat di rentang Rp16.520 – Rp16.560,” katanya.
Dia menambahkan bahwa pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa shutdown AS hanya memberikan efek terbatas pada pasar keuangan. Saat ini, fokus investor lebih tertuju pada data ketenagakerjaan swasta AS, mengingat rilis data non-farm payrolls (NFP) September 2025 tertunda akibat penghentian operasional pemerintah.
Dari dalam negeri, penguatan rupiah juga didukung oleh stabilnya inflasi. Data Badan Pusat Statistik mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) September 2025 mengalami inflasi bulanan sebesar 0,21 persen dan secara tahunan sebesar 2,65 persen, masih dalam target 2,5 kurang lebih 1 persen. Ibrahim menegaskan bahwa inflasi diyakini akan tetap terkendali dalam kisaran target tersebut pada 2025 dan 2026.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa penghentian operasional sementara pemerintah AS turut memengaruhi agenda perundingan dagang antara Indonesia dan AS. “Dampaknya jelas, terkait dengan perundingan dagang kan dengan shutdown ya berhenti dulu,” ujarnya.
Namun, Airlangga tetap optimistis bahwa kondisi tersebut tidak akan memengaruhi hasil akhir perundingan. Menurutnya, mayoritas poin pembahasan dengan Amerika Serikat sudah disepakati. Ia juga memastikan bahwa tidak ada efek lanjutan terhadap nilai tukar rupiah. “Tidak (mengganggu rupiah), itu kan (shutdown) Pemerintah Amerika, beda,” tegasnya.