Kekhawatiran atas Ketidakhadiran DPRD Jatim Pasca-Kejadian Musala Ponpes Al Khoziny
Kabar duka kembali menyelimuti Jawa Timur setelah bangunan musala Pondok Pesantren Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, mengalami ambruk. Kejadian tersebut menimbulkan korban luka-luka dan empat santri yang meninggal dunia. Peristiwa ini menjadi perhatian serius bagi masyarakat dan berbagai pihak terkait.
Di tengah situasi yang memprihatinkan, muncul kritik tajam dari Koordinator Wilayah MAKI Jatim, Heru Satriyo. Ia menyampaikan kekecewaannya terhadap ketidakhadiran anggota DPRD Jatim, khususnya dari Dapil Sidoarjo, dalam menangani bencana ini. Heru menyoroti fakta bahwa para wakil rakyat tidak hadir di lokasi kejadian meskipun ada pejabat lain seperti Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa yang segera pulang dari misi dagang di Sumatera Selatan untuk meninjau langsung kondisi di lokasi.
Selain itu, Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak dan Sekda Provinsi Jatim Adhy Karyono juga lebih dulu tiba di tempat kejadian. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran dan tanggung jawab yang lebih besar dari para pejabat eksekutif dibandingkan dengan DPRD.
Heru mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap DPRD Jatim yang dinilai tidak memiliki sense of crisis dan kepedulian terhadap musibah yang terjadi. Ia menyebut tindakan tersebut sebagai “mbahnya kebacut”, yang artinya kurang responsif dan tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Untuk memberikan tekanan publik, Heru melalui MAKI Jatim menginisiasi petisi dengan tagar #bubarkandwanjatim. Petisi ini bertujuan untuk menuntut agar DPRD Jatim segera mengambil langkah-langkah yang tepat dan transparan dalam menangani masalah ini.
Heru juga menyatakan siap memimpin aksi besar jika dukungan masyarakat terhadap petisi tersebut semakin kuat. Ia menegaskan bahwa suara rakyat adalah suara langit, yang harus dihargai dan direspons secara serius oleh lembaga-lembaga yang bertanggung jawab.
Sebelum kejadian tersebut, gedung tiga lantai yang juga difungsikan sebagai musala di asrama putra Ponpes Al Khoziny mengalami ambruk pada Senin (29/9) sore saat ratusan santri sedang melaksanakan salat Ashar berjemaah. Kondisi darurat ini memicu evakuasi segera terhadap korban.
Hingga Rabu (1/10) sore, sebanyak 103 orang telah dievakuasi dari lokasi kejadian. Dari jumlah tersebut, empat orang meninggal dunia, puluhan lainnya dirawat di rumah sakit, dan sekitar 91 orang diduga masih terjebak di bawah reruntuhan. Situasi ini menunjukkan betapa pentingnya respons cepat dan koordinasi yang baik dalam menangani bencana.
Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa kepedulian dan tanggung jawab sosial sangat penting, terutama dari para pemangku kebijakan yang diharapkan dapat memberikan perlindungan dan solusi bagi masyarakat yang terkena dampak bencana.