Dampak Demonstrasi terhadap Ekonomi dan Masyarakat
Gelombang demonstrasi yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir tidak hanya memicu ketegangan di ruang politik, tetapi juga memberikan dampak langsung terhadap kehidupan ekonomi masyarakat. Jalanan yang biasanya ramai kini menjadi sepi, toko dan pusat belanja menutup lebih awal, sementara para pekerja harian harus menghadapi penghasilan yang berkurang. Situasi ini memaksa banyak orang, baik pelaku usaha maupun masyarakat biasa, untuk segera menyesuaikan diri dengan kondisi yang terus berubah.
Demonstrasi tersebut bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), menyatakan bahwa faktor ekonomi adalah salah satu pemicunya. Ia menilai bahwa kerusuhan ini tidak bisa dilepaskan dari kesenjangan sosial-ekonomi yang masih membelenggu banyak orang. Dengan kata lain, demonstrasi yang terjadi belakangan adalah bagian dari akumulasi kekecewaan kelompok menengah bawah yang merasa semakin terpinggirkan.
Kekecewaan ini, seperti yang diungkapkan Ted Robert Gurr dalam bukunya Why Men Rebel (1970), sering kali muncul bukan hanya karena kemiskinan absolut, tetapi karena jurang antara harapan dan kenyataan yang dirasakan masyarakat. Kelompok menengah bawah, misalnya, merasa semakin terpinggirkan ketika melihat segelintir kelompok menikmati pertumbuhan ekonomi, sementara kehidupan mereka tetap stagnan. Frustrasi inilah yang mungkin menjadi faktor pemicu munculnya demonstrasi dalam bentuk kemarahan kolektif.
Ekonomi Harian yang Tersendat
Di tingkat akar rumput, demonstrasi yang berujung ricuh membawa dampak serius. Banyak pedagang kecil di sekitar titik aksi mengaku dagangannya sepi karena arus orang berkurang drastis. Pengemudi transportasi daring kehilangan penumpang, restoran menutup layanan lebih cepat, sementara karyawan ritel terpaksa pulang sebelum waktunya demi keselamatan.
Alphonzus, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), menyebut penjualan mal di Jakarta menurun hingga 50 persen saat demonstrasi berlangsung. Dalam kondisi normal, seratus pusat belanja bisa meraup sekitar Rp500 miliar per hari, namun pada saat aksi jumlah itu turun hampir separuhnya. Bagi karyawan harian dan pekerja kecil yang mengandalkan omzet harian, situasi ini berarti hilangnya pemasukan yang penting bagi kebutuhan rumah tangga.
Tidak hanya sektor ritel, industri pun terkena imbas. Beberapa pabrik menghentikan produksi sementara karena kondisi tidak memungkinkan. Padahal, kelancaran produksi sangat bergantung pada stabilitas situasi. Gangguan semacam ini bukan hanya angka kerugian, tetapi juga menyangkut rasa aman pekerja dan kepercayaan mitra dagang.
Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Senin (1/9) terkoreksi tajam 2,69% atau sekitar 210,39 poin ke level 7.620,10 pada awal perdagangan imbas aksi demonstrasi. Kendati demikian, kondisi ini tidak menimbulkan kepanikan sebagaimana krisis 1997–1998. Rupiah yang sebelumnya tertekan justru kembali menguat ke Rp16.400 dan bahkan bergerak menuju Rp16.300. Pergerakan ini menandakan fondasi ekonomi Indonesia masih cukup tangguh untuk meredam gejolak jangka pendek.
Membaca Suara dari Jalanan
Ketahanan di level makro tersebut, bagaimanapun, tidak sepenuhnya merepresentasikan kenyataan di akar rumput. Demonstrasi yang berujung ricuh memperlihatkan adanya lapisan masyarakat yang merasa belum menikmati pertumbuhan ekonomi secara merata. Mereka adalah para pekerja harian, pedagang kecil, dan kelas menengah bawah yang setiap hari berhadapan dengan biaya hidup yang semakin berat.
Bagi mereka, kestabilan kurs rupiah atau indeks saham mungkin terasa jauh. Yang lebih penting adalah kestabilan harga bahan pokok, jaminan lapangan kerja, serta kepastian bisa membawa pulang penghasilan. Inilah yang disebut sebagai political economy of everyday life: ekonomi tidak berhenti pada angka pertumbuhan, melainkan harus tercermin dalam rasa aman dan peluang yang nyata di tingkat rumah tangga.
Daya tahan ekonomi Indonesia sendiri sejatinya bertumpu pada kombinasi kekuatan makro dan dinamika di tingkat akar rumput. Sejak krisis 1997–1998, sistem perbankan tumbuh lebih sehat, cadangan devisa lebih memadai, dan kebijakan moneter lebih adaptif. Bersamaan dengan itu, muncul keragaman sumber pertumbuhan baru, dari sektor formal hingga ekonomi digital, yang membuka ruang aktivitas lebih luas. Kepercayaan publik dan global pun relatif terjaga, yang salah satunya tercermin dari cepatnya rupiah kembali stabil.
Semua itu adalah bagian dari fondasi yang lebih kokoh dibanding masa lalu. Kendati demikian, fondasi ini hanya akan bermakna bila hasilnya dapat dirasakan mereka yang paling rentan. Artinya, tanpa rasa inklusi dan keadilan, kekuatan ekonomi yang tampak stabil dari atas bisa kehilangan artinya di bawah.
Jalan ke Depan
Ke depan, pemerintah perlu membaca pesan dari jalanan dengan lebih empatik. Program perlindungan sosial memang penting untuk menjaga daya beli, tetapi yang lebih mendesak adalah membuka akses kerja yang layak, menekan harga pangan agar tetap terjangkau, serta memberi ruang dialog yang sungguh-sungguh antara masyarakat dengan pengambil kebijakan. Dialog yang dimaksud bukan sekadar formalitas, melainkan ruang dengar yang jujur bagi keluhan dan aspirasi warga.
Dari sisi dunia usaha, tanggung jawab tidak berhenti pada neraca laba. Banyak pekerja, terutama di sektor jasa dan UMKM, bertahan hidup dari hari ke hari. Menjamin keberlangsungan kerja mereka, memberi ruang bagi usaha kecil dalam rantai pasok, dan menghindari praktik yang hanya mengejar untung sesaat adalah langkah nyata yang bisa menjaga kepercayaan sekaligus menguatkan fondasi ekonomi.
Kerusuhan demonstrasi memberi pelajaran penting: ketahanan makro tidak selalu sejalan dengan rasa aman masyarakat. Rupiah memang cepat kembali stabil, pasar pun pulih dari tekanan, tetapi kestabilan angka-angka itu bisa rapuh jika tidak diikuti legitimasi ekonomi di tingkat akar rumput. Pertumbuhan akan kehilangan makna bila hanya dinikmati segelintir kalangan.
Kekecewaan kelas menengah bawah, seperti dikatakan Ted Robert Gurr, seringkali muncul bukan semata karena kemiskinan absolut, melainkan karena jurang antara harapan dan kenyataan yang terlalu lebar. Inilah yang disebut sebagai persoalan keadilan distributif: masyarakat menuntut manfaat pertumbuhan dirasakan lebih merata. Ketika sebagian kecil kelompok menikmati lonjakan ekonomi, sementara banyak lainnya merasa tertinggal, protes menjadi saluran untuk menyuarakan frustrasi itu.
Elan vital ekonomi Indonesia hanya akan bermakna bila denyutnya benar-benar dirasakan hingga ke lapisan masyarakat paling bawah. Angka pertumbuhan mungkin memberi optimisme, tetapi wajah sejati ekonomi akan terpancar dari seberapa jauh ia melindungi yang rentan dan mengangkat yang terpinggirkan. Tanpa berorientasi pada hal tersebut, daya tahan ekonomi hanya akan tampak kokoh di atas kertas, tetapi rapuh dalam kehidupan nyata.