News

“Nyahroni” dan “Rakyat Jelita”: Kreativitas Bahasa sebagai Ekspresi Politik Generasi Muda Indonesia

Bahasa sebagai Alat Resistensi dan Kritik Sosial di Kalangan Kaum Muda Indonesia

Kreativitas berbahasa telah menjadi ciri khas komunikasi kaum muda Indonesia, terutama dalam menyampaikan kritik terhadap situasi sosial dan politik. Proses linguistik yang terjadi menunjukkan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga sarana resistensi simbolik dan kritik yang cerdas. Dalam demonstrasi yang berlangsung pada awal September 2025, misalnya, sebuah poster menampilkan warna yang dianggap sebagai simbol resistensi: brave pink dan hero green. Tulisan pada poster tersebut menyampaikan pesan kuat: “Butuh didengerin, bukan di-gaslight, apalagi digas air mata. Tertanda, rakyat jelita.”

Pesan ini mengandung tuntutan untuk didengarkan, menolak manipulasi psikologis (gaslight), serta menolak penggunaan gas air mata. Dari sini, kita bisa melihat dua hal penting. Pertama, bahasa dalam protes dan demonstrasi berfungsi sebagai media resistensi yang kreatif dan simbolik. Kedua, proses pembentukan kata dan pergeseran makna menunjukkan kelenturan sistem morfologi bahasa Indonesia dalam merespons perkembangan sosial-politik.

Resistensi Simbolik Melalui Kata

Perubahan dari istilah gaslight menjadi gas air mata dalam poster tersebut memperkuat ancaman yang dihadapi, karena sudah berupa kekerasan fisik. Istilah gas air mata memiliki sejarah panjang dalam diskursus demonstrasi di Indonesia, seperti Tragedi Kanjuruhan pada 2022, di mana penonton stadion ditembak dengan gas air mata hingga menyebabkan banyak korban jiwa.

Penggunaan istilah dari bahasa Inggris menunjukkan bahwa para penyusun poster melek terhadap isu-isu seperti gaslighting, yang semakin diperhatikan oleh Gen Z. Selain itu, penggunaan awalan di- (penanda verba pasif) dalam kata-kata tertentu menunjukkan praktik translanguaging, yaitu peralihan dan percampuran bahasa secara dinamis dan luwes.

Adaptasi ini juga mencerminkan upaya untuk menyampaikan emosi yang lebih “Indonesia”, nyata, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Contohnya, parodi rakyat jelata menjadi rakyat jelita dengan mengubah vokal /a/ menjadi /i/. Perubahan fonologis ini sering digunakan dalam pembentukan slang di Indonesia.

Frasa rakyat jelita merupakan bentuk pujian yang disampaikan dengan nada ironis dan puitis. Ini menggambarkan bahwa yang menandatangani poster adalah rakyat yang cantik atau terhormat, namun terpaksa menghadapi tekanan dari negara.

Bentuk Kata Baru di Dunia Digital

Di media sosial, permainan kata sering menargetkan nama tokoh publik seperti Ahmad Sahroni dan Sri Mulyani. Fenomena ini termasuk dalam ilmu linguistik, khususnya morfologi, yang mempelajari pembentukan kata. Salah satu cara pembentukan kata adalah coinage (kata baru dari istilah baru) dan eponym (kata baru dari nama orang atau tempat).

Contoh coinage adalah Teddy Bear, yang berasal dari nama Presiden AS Theodore Roosevelt. Begitu pula sandwich yang berasal dari nama Earl of Sandwich. Dalam kasus ini, nama diri berubah fungsi menjadi merujuk pada benda lain.

Selain itu, melalui zero-derivation conversion (perubahan kelas kata tanpa imbuhan), nama-nama tokoh politik dapat berubah fungsi menjadi kata sifat. Misalnya, Nafa Urbach menjadi makna ‘bersikap manja’, Uya Kuya menjadi ‘norak’, dan Eko Patrio menjadi ‘tidak lucu’ atau ‘garing’.

Proses ini menunjukkan bagaimana imbuhan produktif bahasa Indonesia (seperti di-, meN-, dan -i) digunakan untuk membentuk kata baru dengan nuansa kritik sosial. Contohnya, nyahroni diartikan sebagai memakai celana pink seperti foto ikonik Ahmad Sahroni. Dari sisi semantik, nama diri tidak lagi merujuk pada individu, tetapi mengalami perluasan makna menjadi label perilaku tertentu.

Ini sejalan dengan konsep metonimia, di mana individu yang menonjol dengan sifat tertentu dijadikan representasi umum dari sifat tersebut. Contohnya, Sahroni diasosiasikan dengan arogansi pejabat, sedangkan Sri Mulyani dengan utang negara atau kebijakan fiskal yang memberatkan rakyat.

Kekuatan Bahasa dalam Kritik Sosial dan Politik

Kreativitas linguistik di atas menunjukkan bahwa bahasa memiliki kekuatan luar biasa. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga sarana ekspresi sosial dan politik. Dengan permainan morfologi dan semantik, kaum muda Indonesia bisa menyampaikan kritik yang cerdas, tajam, dan kreatif, baik di jalanan maupun media sosial, tanpa perlu menggunakan kata-kata kasar.

Ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia masih memiliki potensi untuk berkembang sesuai konteks sosial, sekaligus menjadi cerminan kecerdasan penuturnya dalam merespons situasi politik, sosial, dan budaya.

Penulis: AdminEditor: Admin