News

Prabowo Mau Jangkar Valas: Perlu Audit Transfer Pricing?

Langkah Pemerintah untuk Meningkatkan Stabilitas Kurs Rupiah

Pemerintah Indonesia saat ini sedang mempertimbangkan berbagai insentif guna mengajak kembali dana asing yang dimiliki oleh individu atau perusahaan Indonesia di luar negeri. Tujuannya adalah untuk mendukung perekonomian nasional dan menjaga stabilitas kurs rupiah. Periset pasar menilai bahwa dengan memperketat pengawasan terhadap penghindaran pajak, peluang dana asing masuk ke dalam negeri akan semakin besar karena kesulitan menyembunyikannya.

Harry Su, Managing Director Research and Digital Production Samuel Sekuritas Indonesia, menyatakan bahwa penutupan celah penghindaran pajak melalui transfer pricing dapat memberikan dampak signifikan. Dampaknya mencakup perbaikan neraca transaksi berjalan, peningkatan penerimaan negara, serta aliran valuta asing yang lebih besar.

Kebijakan Audit Transfer Pricing sebagai Solusi Cepat

Salah satu langkah yang bisa segera dilakukan adalah menteri keuangan merilis aturan yang mewajibkan auditor eksternal melakukan audit terhadap seluruh transfer pricing perusahaan agar mendapatkan predikat wajar tanpa syarat. Hal ini sesuai standar internasional. Tanpa kebijakan ini, banyak transfer pricing dilakukan ke Singapura.

Harry Su mengungkapkan bahwa ia bertanya kepada salah satu perusahaan audit besar mengapa hal ini tidak dilakukan. Jawabannya adalah karena di negara lain, audit tahunan yang mencakup transfer pricing wajib dilakukan, sementara di Indonesia belum diwajibkan oleh pemerintah.

Jika kebijakan ini diterapkan, nilai impor bisa turun dan nilai ekspor meningkat, sehingga neraca transaksi berjalan menjadi lebih baik. Selain itu, pajak yang dibayarkan sepenuhnya di Indonesia akan membantu memperbaiki APBN. Tambahan lagi, cadangan devisa juga akan meningkat secara signifikan, yang akan memberikan stabilitas lebih besar bagi perekonomian nasional.

Pengertian dan Masalah Transfer Pricing

Transfer pricing sebenarnya legal, yaitu mekanisme harga yang ditetapkan antarperusahaan yang berafiliasi, terutama lintas negara. Namun, celahnya sangat lebar. Harga bisa direkayasa, dinaikkan atau diturunkan, untuk memindahkan laba ke negara dengan tarif pajak yang lebih rendah. Akibatnya, penerimaan negara berkurang, dan valas hasil bisnis tidak seluruhnya kembali ke Indonesia.

Laporan dari NEXT Indonesia pada Agustus lalu mengungkapkan temuan tentang adanya uang gelap yang masuk melalui pintu perdagangan. Mereka membandingkan catatan ekspor Indonesia dengan data impor negara tujuan menggunakan basis data UN Comtrade. Hasilnya menunjukkan adanya misinvoicing atau perbedaan angka tercatat. Misinvoicing bisa menjadi indikasi penghindaran pajak, terutama dalam kasus antarperusahaan berafiliasi yang bisa menjadi indikasi transfer pricing yang tidak wajar dan masuk dalam kejahatan pencucian uang.

Temuan Laporan NEXT Indonesia

Dalam kurun waktu 2013-2023, terdapat temuan ketimpangan pencatatan perdagangan berbagai komoditas ekspor Indonesia. Temuan pertama, over-invoicing, yakni nilai ekspor yang dicatat lebih tinggi daripada nilai impor di negara tujuan, rata-rata mencapai US$40,2 miliar atau sekitar Rp666 triliun per tahun. Temuan kedua, under-invoicing, yaitu nilai ekspor yang tercatat lebih rendah dari catatan impor di negara tujuan, dengan selisih rata-rata US$25,3 miliar atau sekitar Rp419 triliun per tahun.

Lembaga think tank Global Financial Integrity (GFI) di Washington DC memperkirakan bahwa negara berkembang rata-rata kehilangan sekitar 20 persen nilai perdagangan mereka dengan negara-negara maju akibat aliran dana gelap alias illicit financial flows.

Indonesia Tidak Tanpa Senjata

Indonesia sudah memiliki beberapa ketentuan untuk menekan transfer pricing yang tidak wajar. Pemerintah mewajibkan perusahaan yang melakukan transaksi dengan perusahaan terafiliasi untuk menyiapkan dokumen transfer pricing yang bisa diminta sewaktu-waktu. Ini diatur dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan.

Selain itu, Indonesia mengadopsi mekanisme Advance Pricing Agreement (APA), yakni kesepakatan antara otoritas pajak dengan wajib pajak dan/atau otoritas negara mitra mengenai harga transaksi afiliasi yang dianggap wajar dan menjadi acuan pada periode tertentu. Tujuannya, memberi kepastian dan mengurangi sengketa.

Usulan Harry Su soal kewajiban audit transfer pricing oleh perusahaan auditor eksternal bisa menjadi tambahan alat dalam upaya pencegahan transfer pricing. Mekanisme semacam ini diterapkan beberapa negara termasuk India. Di India, perusahaan dengan transaksi berelasi lintas negara wajib menyerahkan laporan transfer pricing yang diaudit oleh auditor eksternal, selain laporan keuangan tahunan. Tujuannya, mencegah pemindahan laba oleh perusahaan multinasional, terutama di sektor teknologi dan farmasi yang banyak tumbuh di sana.

Penulis: AdminEditor: Admin