Publica.id — Petisi untuk membatalkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 terus mendapatkan dukungan besar dari masyarakat. Dilansir dari laman Change.org, per 23 Desember pukul 17.00 WIB, petisi ini telah ditandatangani oleh lebih dari 177 ribu orang. Hal ini mencerminkan kekhawatiran publik atas dampak kebijakan tersebut terhadap daya beli dan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Kenaikan PPN menjadi 12% merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sebelumnya, pada tahun 2022, pemerintah telah menaikkan PPN dari 10% menjadi 11%. Meski bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, kebijakan ini menuai kritik karena dianggap akan memperberat beban masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.
Dampak Ekonomi yang Dikhawatirkan
Para penandatangan petisi menilai bahwa kenaikan PPN akan memicu lonjakan harga berbagai barang dan jasa, termasuk kebutuhan pokok seperti bahan makanan, sabun, dan Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal ini dikhawatirkan semakin menekan daya beli masyarakat yang sejak Mei 2024 sudah menunjukkan tren penurunan.
“Naiknya PPN yang juga akan membuat harga barang ikut naik sangat mempengaruhi daya beli. Kita tentu sudah pasti ingat, sejak bulan Mei 2024 daya beli masyarakat terus merosot. Kalau PPN terus dipaksakan naik, niscaya daya beli bukan lagi merosot, melainkan terjun bebas,” tulis Bareng Warga, inisiator petisi tersebut.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran terbuka per Agustus 2024 masih mencapai 4,91 juta orang. Dari 144,64 juta orang yang bekerja, 57,94% di antaranya berada di sektor informal, yang kerap kali menghadapi ketidakpastian pendapatan. Selain itu, rata-rata upah pekerja nasional sejak tahun 2020 terus mendekati batas Upah Minimum Provinsi (UMP), dengan selisih hanya Rp154 ribu pada 2024. Di Jakarta, kebutuhan hidup layak yang mencapai Rp14 juta per bulan jauh melampaui UMP sebesar Rp5,06 juta.
Desakan untuk Membatalkan Kenaikan
Petisi ini mendesak pemerintah untuk membatalkan kenaikan PPN sebagaimana tercantum dalam UU HPP. Para inisiator dan pendukungnya berpendapat bahwa kebijakan tersebut dapat memperburuk kondisi ekonomi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi. Mereka juga menyoroti potensi peningkatan jumlah utang rumah tangga, termasuk penggunaan pinjaman online, sebagai dampak dari pelemahan daya beli.
Sementara itu, pemerintah menyatakan bahwa kenaikan PPN diperlukan untuk memperkuat keuangan negara dan mendukung pembangunan. Namun, janji pemerintah untuk memberikan perlindungan sosial kepada kelompok rentan dianggap belum cukup untuk mengimbangi dampak kenaikan tersebut.